Posted in
a. Minyak bumi
Minyak bumi berasal dari mikroplankton yang terdapat di danau-danau, teluk-teluk, rawa-rawa dan laut-laut dangkal. Sesudah mati mikroplankton berjatuhan dan mengendap di dasar laut kemudian bercampur dengan sedimen. Akibat tekanan lapisan-lapisan atas dan pengaruh panas magma, dan terjadilah proses destilasi hingga terjadi minyak bumi kasar. Daerah-daerah penghasil minyak bumi di Indonesia adalah sebagai berikut :
• Pulau Jawa : Cepu, Cirebon dan Wonokromo.
• Pulau Sumatera : Palembang dan Jambi.
• Pulau Kalimantan : Pulau Tarakan, Pulau Bunyu dan Kutai.
• Pulau Irian : Sorong.
b. Gas alam
Gas alam merupakan campuran beberapa hidrokarbon dengan kadar karbon kecil yang digunakan sebagai bahan baker. Ada dua macam gas alam cair yang diperdagangkan, yaitu LNG ( liquefied natural gas ) dan LPG ( liquefied petroleum gas).
c. Batu bara
Batu bara terbentuk dari tumbuhan yang tertimbun hingga berada dalam lapisan batu-batuan sediment yang lain. Proses pembentukan batu bara disebut juga inkolent yang terbagi menjadi dua, yaitu prose biokimia dan proses metamorfosis. Daerah tambang batu bara di Indonesia adalah sebgai berikut :
• Ombilin dekat Sawahlunto ( Sumatera Barat )
• Bukit Asam dekat Tanjung Enin ( Palembang )
• Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan ( Pulau Laut / Sebuku )
• Jambi, Riau, Aceh dan Papua.
d. Tanah liat
Merupakan tanah yang mengandung lempung, banyak terdapat di dataran rendah di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
e. Kaolin
Terbentuk dari pelapukan batu-batuan granit. Banyak terdapat di daerah sekitar pegunungan di Pulau Sumatera
f. Gamping
Batu kapur terbentuk dari pelapukan sarang binatang karang. Banyak terdapat di Pegunungan Seribu dan Pegunungan Kendeng.
g. Pasir kuarsa
Merupakan pelapukan batu-batuan yang hanyut lalu mengendap di daerah sekitar sungai, pantai dan danau. Banyak terdapat di Banda Aceh, Bangka, Belitung dan Bengkulu.
h. Pasir besi
Merupakan batuan pasir yang banyak mengandung zat besinya. Terdapat di Pantai Cilacap, Jawa Tengah.
i. Marmer atau batu pualam
Merupakan batu kapur yang telah berubah bentuk dan rupanya. Banyak terdapat di Trenggalek, Jawa Timur, dan daerah Bayat ( Jawa Tengah )
j. Batu akik
Merupakan batuan atau mineral yang cukup keras dan berwarna. Terdapat di daerah pegunungan dan sekitar aliran sungai.
k. Bauksit
Banyak terdapat di Pulau Bintan dan Riau.
l. Timah
Daerah penghasil timah di Indonesia adalah Pulau Bangka, Belitung dan Singkep.
m. Nikel
Terdapat di sekitar Danau Matana, Danau Towuti dan di Kolaka.
n. Tembaga
Terdapat di Tirtomoyo, Wonogiri ( Jawa Tengah ), Muara Simpeng ( Sulawesi ) dan Tembagapura ( Papua ).
o. Emas dan perak
Merupakan logam mulia. Terdapat di Tembagapura, Batu hijau, Tasikmalaya, Simau, Logos, Meulaboh.
p. Belerang
Terdapat di kawasan Gunung Telaga Bodas ( Garut ) dan di kawah gunung berapi, seperti di Dieng ( Jawa Tengah ).
q. Mangan
Terdapat di Kliripan ( Yogyakarta ), Pulau Doi ( Halmahera ) dan Karang nunggal.
r. Fosfat
Terdapat di Cirebon, Gunung Ijen, dan Banyumas.
s. Besi
Besi baja adalah besi yang kandungannya atau campuran karbonnya rendah.
t. Mika
Terdapat di Pulau Peleng, Kepulauan Banggay di Maluku.
u. Tras
Terdapat di Pegunungan Muria ( Jawa Tengah ).
v. Intan
Terdapat di Martapura ( Kalimantan Selatan ).
3. Pemanfaatan SDA Barang Tambang
Usaha pemanfaatan pertambangan dan bahan galian dalam pembangunan Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Sebagai pemenuh kebutuhan SDA barang tambang dan galian dalam negeri.
b. Menambah pendapatan negara karena barang tambang dapat diekspor keluar negeri
c. Memperluas lapangan kerja
d. Memajukan bidang transportasi dan komunikasi
e. Memajukan industri dalam negeri
Adapun upaya dalam pembangunan berkelanjutan sebagai berikut:
a. menyatukan presepsi tentang pelestarian atau konservasi biosfer
b. menggunakan SDA secara efisien dan tidak membahayakan biosfer
c. melanjutkan dan mengamankan penggunaan SDA
d. mengembangkan dan menerapkan teknologi maju untuk mendukung pengelolaan dan pengembangan lingkungan
e. mendukung program ekonomi baru yang memiliki strategi berkelanjutan dalam pengelolaan dan pengembangan lingkungan
Dampak Pertambangan terhadap Lingkungan Hidup
Dampak langsung kegiatan pertambangan, khususnya pertambangan emas dan tembaga diantaranya kerusakan ekologis seperti berkurangnya debit air sungai dan tanah, pencemaran air laut, kerusakan hutan hingga sedimentasi tanah masih menjadi masalah yang belum terpecahkan secara tuntas.
Intensitas dampak eksplorasi pertambangan emas dan tembaga tidak hanya merubah derajat kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang merugikan generasi masa kini tetapi juga kerugian bagi generasi yang akan datang. kawasan eksplorasi pertambangan selalu menjadi kantong kemiskinan massif, kemiskinan aktif dan kemiskinan pasif.
Jika kemiskinan aktif terjadi karena seseorang kehilangan sumberdaya untuk memberdayakan diri dan mempertahankan hidupnya, maka kemiskinan pasif terjadi karena hilangnya akses untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada di sekelilingnya. Meluasnya bentuk-bentuk kemiskinan aktif dan pasif inilah penyebab utama munculnya kemiskinan massif yang ditandai oleh kelaparan ditengah kemewahan, putus sekolah massal ditengah pemborosan anggaran pendidikan, keringkihan massal ditengah gaya hidup royal dan boros kaum pemodal.
Sedihnya, fakta demikian terjadi pada hampir seluruh kawasan dimana kaum pemodal sektor pertambangan melakukan eksplorasi emas, tembaga dan berbagai jenis batu mulia, mineral, logam, timah, nikel, dan lainnya.
Solusi kedepan
Dengan mengajak perusahaan pertambangan memperluas kepeduliannya secara signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui skema berbagi skill, pengetahuan, dan modal. Bentuk paling minimal adalah melalui skema trust fund atau mining trust fund yang dikembangkan dalam sebuah skema Corporate Social Responsibility. Model ini lebih akomodatif dan kompromis dengan mempertimbangkan aspek benefit kegiatan perusahaan.
Perhatian pengamat pertambangan dan lingkungan umumnya lebih kritis terhadap perusahaan berskala besar seperti Freeport Mc Moran di Papua, Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa, Exxon Mobil untuk Migas dan beberapa perusahaan tambang batubara di Kalimantan timur, Sumatera dan pulau-pulau kecil seperti pulau Natuna.
Saat ini dampak kegiatan pertambangan emas dan tembaga memang diakui telah memberikan keuntungan ekonomi sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang penting diera orde baru namun tak dapat dipungkiri pula bahwa side effect lain terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup (ecocide) dan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya mereka yakni tanah dan air.
Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah membuat regulasi yang lebih memihak kepada ekonomi masyarakat lokal dan konservasi lingkungan (UU PSDA sebagai UU payung), penegakan hukum lingkungan, transparansi dan audit lingkungan terhadap perusahaan tambang skala besar.
MORATORIUM PERTAMBANGAN:
Langkah Strategis Menyelamatkan Sumber Daya Mineral Indonesia
Kepulauan Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya, berada dalam ancaman bahaya ekologi sangat serius. Setelah puluhan tahun mengalami eksploitasi massif oleh negara dan modal, masih saja dibanjiri oleh langkah-langkah blunder untuk memacu investasi di sektor pertambangan. Kita tak memiliki strategi jitu untuk menyelamatkan kepentingan pelestarian lingkungan hidup, kepentingan penduduk local, dan "pembiaran" mineral untuk generasi mendatang. Pemerintah malahan terus menerus memberi izin pada perusahaan pertambangan untuk mengekstrasi sumber daya mineral Indonesia.
Padahal, dihitung-hitung, kontribusi industri pertambangan untuk negara sangat rendah, berkisar antara 1-3 persen dari total pendapatan negara (seperti dikemukakan anggota DPR RI, Pramono Anung Wibowo, dan kertas kerja Econit Advisory Group). Anehnya, industri keruk yang begitu destruktif masih menjadi primadona bagi negara. Bahkan negara tak segan mengeluarkan regulasi yang sangat menguntungkan pemodal di sektor pertambangan.
Secara sistematis pemerintah berupaya mempertahankan eksistensi pertambangan di Indonesia. Bahkan dengan berani menggadaikan nasib generasi mendatang; kahancuran lingkungan hidup; penderitaan masyarakat adat; menurunya kualitas hidup penduduk lokal; meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; dan kehancuran ekologi pulau-pulau.
Beberapa kasus tertentu menunjukan , pemerintah tak segan menggunakan aparat pertahanan dan keamanan untuk merepresi rakyat yang melawan kehadiran pertambangan di tanah mereka. Dari situ pelanggaran HAM pun terjadi. Tidak heran jika industri pertambangan di Indonesia tergolong industri yang sarat dengan pelbagai peristiwa pelanggaran HAM.
Akar persoalan buruknya politik pertambangan kita, baik di tingkat perangkat hukum maupun praktek riil pertambangannya. Oleh karena itu diperlukan suatu perubahan mendasar dan paradigmatik terhadap kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia. Jalan menuju perubahan yang fundamental itu adalah Moratorium Kegiatan Pertambangan.
Mengapa Moratorium?
Semangat eksploitasi (jual murah dan jual habis) adalah warna kental kebijakan pertambangan di Indonesia. Pembiaran mineral di perut bumi untuk generasi mendatang dan kelestarian lingkungan hidup seolah menjadi agenda yang tabu dan dosa bagi pengurus negara.
Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing ---yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan modal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih rendah dibanding posisi modal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
Desakan untuk mengubah UU pertambangan bermunculan dalam kurun 3 tahun terakhir. Namun gara-gara rentang waktu orientasi pertambangan yang keliru itu telah berlangsung terlalu lama. Hingga tidak heran jika banyak kalangan yang terhegemoni, termasuk pihak pembuat kebijakan. Akibatnya, upaya perbaikan ketentuan-ketentuan hukum pertambangan saat ini pun masih diwarnai pendekatan lama yang eksploitatif dan jual habis, termasuk draft RUU pertambangan yang baru .
Untuk memutus mata rantai perbaikan kebijakan pertambangan yang tambal sulam itu, diperlukan suatu terobosan baru yang berani, yaitu moratorium. Dengan moratorium kegiatan pertambangan, pemerintah akan lebih mampu menata pijakan dasar kebijakan dan orientasi pertambangan Indonesia masa depan, yang pro terhadap kepentingan lingkungan hidup, penduduk lokal, bangsa, dan kepentingan generasi masa depan. Dengan demikian, pemerintah akan berhasil melahirkan suatu strategi baru pertambangan yang bijak berdasarkan pertimbangan yang rasional termasuk kepentingan penduduk lokal, kualitas lingkungan hidup, penghitungan tingkat keterancaman ekologi pulau-pulau, jenis dan jumlah kebutuhan riil bahan tambang oleh bangsa dan pembiaran atau pencadangan mineral untuk kepentingaan generasi mendatang.
Bagaimana Memulai Moratorium?
Moratorium pertambangan bisa berjalan jika ada political will pemerintah. Selain itu, pressure yang kuat dari rakyat dan wakil-wakilnya di parlemen pada pemerintah akan mempercepat terealisasinya gagasan moratorium pertambangan. Demi penyelamatan sumberdaya mineral, keberlanjutan eksistensi bangsa dan jaminan kepastian dalam investasi bagi modal, pemerintah harus berani mengambil langkah-langkah untuk moratorium pertambangan.
Walaupun saat ini moratorium adalah isu yang tidak populer dimata modal. Ada 5 langkah yang perlu di tempuh untuk mengkonkritkan gagasan moratorium pertambangan. Keempat langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Stop Perizinan Baru
Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah "berhasil" memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia . Jumalh tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD.
Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan. Oleh karena itu diperlukan ketegasan pemerintah untuk tidak lagi mengeluarkan izin pertambangan sampai ada suatu perubahan yang mendasar terhadap politik hukum pertambangan.
2. Evaluasi Perizinan Yang Telah Diberikan
Langkah kedua yang sebaiknya ditempuh pemerintah adalah mengevaluasi perizinan yang telah diberikan. Bagi pemilik izin yang tidak melakukan aktifitas penambangan, berdasarkan berbagai ketentuaan yang berlaku, pemerintah berhak untuk mencabut perizinannya. Upaya evaluasi terhadap perizinan yang telah diberikan sebaiknya dilakukan secara sistematis untuk seluruh jenis perizinan yang ada. Bila langkah ini dilakukan tidak mustahil pemerintah akan menemukan banyak pemegang izin yang tidak melakukan aktifitas penambangan, sehingga izin mereka patut untuk dibekukan.
3. Tinggikan Standar Kualitas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Adalah kenyataan bahwa untuk merangsang invertor pertambangan ke Indonesia, pemerintahaan lama menjadikan isu lingkungan hidup sebagai isu pelengkap semata. Sejauh ini, tak terlihat komitmen pemerintah untuk menindak tegas mereka yang melakukan perusakan lingkungan hidup. Rendahnya komitmen untuk pelestarian lingkungan hidup juga terlihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah. Tumpang tindih antar satu peraturan dengan peraturan yang lain, atau kecilnya kewajiban pengelolaan lingkungan hidup yang baik oleh pelaku bisnis bagitu mudah terlihat.
4. Pelembagaan Konflik
Sengketa antara penduduk lokal dengan perusahaan pertambangan yang saat ini beroperasi terbilang cukup tinggi. Hal itu disebabkan kebijakan pertambangan tidak berpihak pada kepentingan penduduk lokal.
Untuk menyelesaikan sengketa rakyat dengan perusahaan pertambangan, diperlukan suatu upaya pelembagaan konflik agar tercapai solusi yang memuaskan berbagai pihak. Pelembagaan konflik ini seharusnya diprakarsai negara dan perusahaan tambang melalui mekanisme resolusi konflik. Resolusi konflik hanya bisa tercapai jika melibatkan semua stake holder yang berada pada posisi yang sederajat. Resolusi konflik pertambangan sebaiknya dijadikan kebijakan pemerintah, dengan melibatkan fasilitator profesional agar terhindar dari dominasi pihak-pihak yang bersengketa. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun dalam mekanisme resolusi konflik sebaiknya dijadikan bagian dari re-negosiasi kontrak, sehingga secara hukum mengikat pihak perusahaan.
5. Kebijakan Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Mineral
Untuk menyelamatkan sumberdaya mineral dan eksistensi bangsa dimasa mendatang, diperlukan kebijakan yang secara tekstual mengatur pemanfaatan mineral atas dasar kebutuhaan rill bangsa saat ini dan generasi mendatang. Kebijakan seperti itu yang kemudian dijadikan rujukan perbaikan peraturan perundang-undangan pertambangan. Oleh karena itu, strategi pemanfaatan sumberdaya mineral sebaiknya tertuang dalam Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sehingga secara hierarkis berada pada posisi yang lebih tinggi dari UU.
Agar menjadi pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan pertambangan yang baru, sebaiknya TAP MPR menyatakan dengan jelas pentingnya dilakukan pengkajian secara cermat tentang seberapa parahnya tingkat kerusakan lingkungan hidup dan keterancaman ekologi berbasis pulau. Penghitungan itu disertai pertimbangan riil aktifitas industri keruk yang telah ada, seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) Perkebunan besar monokultur, dan pertambangan. Selain itu perlu dihitung dengan cermat laju kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh indutri keruk.
Juga diperlukan penghitungan tentang jenis mineral yang riil dibutuhkan bangsa saat ini, berapa besar jumlah kebutuhannya, serta berapa dugaan potensi mineral tersedia, kemudian dibandingkan dengan prediksi kebutuhan generasi mendatang. Kalkulasi-kalkulasi itu menjadi penting untuk diikuti oleh pemerintah dalam membuat strategi pemanfaatan sumberdaya mineral yang berorientasi jangka panjang. Stategi yang telah dibuat itu, dijadikan pijakan utama pembuatan protokol-protokol operasi pertambangan pasca moratorium.
Minyak bumi berasal dari mikroplankton yang terdapat di danau-danau, teluk-teluk, rawa-rawa dan laut-laut dangkal. Sesudah mati mikroplankton berjatuhan dan mengendap di dasar laut kemudian bercampur dengan sedimen. Akibat tekanan lapisan-lapisan atas dan pengaruh panas magma, dan terjadilah proses destilasi hingga terjadi minyak bumi kasar. Daerah-daerah penghasil minyak bumi di Indonesia adalah sebagai berikut :
• Pulau Jawa : Cepu, Cirebon dan Wonokromo.
• Pulau Sumatera : Palembang dan Jambi.
• Pulau Kalimantan : Pulau Tarakan, Pulau Bunyu dan Kutai.
• Pulau Irian : Sorong.
b. Gas alam
Gas alam merupakan campuran beberapa hidrokarbon dengan kadar karbon kecil yang digunakan sebagai bahan baker. Ada dua macam gas alam cair yang diperdagangkan, yaitu LNG ( liquefied natural gas ) dan LPG ( liquefied petroleum gas).
c. Batu bara
Batu bara terbentuk dari tumbuhan yang tertimbun hingga berada dalam lapisan batu-batuan sediment yang lain. Proses pembentukan batu bara disebut juga inkolent yang terbagi menjadi dua, yaitu prose biokimia dan proses metamorfosis. Daerah tambang batu bara di Indonesia adalah sebgai berikut :
• Ombilin dekat Sawahlunto ( Sumatera Barat )
• Bukit Asam dekat Tanjung Enin ( Palembang )
• Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan ( Pulau Laut / Sebuku )
• Jambi, Riau, Aceh dan Papua.
d. Tanah liat
Merupakan tanah yang mengandung lempung, banyak terdapat di dataran rendah di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.
e. Kaolin
Terbentuk dari pelapukan batu-batuan granit. Banyak terdapat di daerah sekitar pegunungan di Pulau Sumatera
f. Gamping
Batu kapur terbentuk dari pelapukan sarang binatang karang. Banyak terdapat di Pegunungan Seribu dan Pegunungan Kendeng.
g. Pasir kuarsa
Merupakan pelapukan batu-batuan yang hanyut lalu mengendap di daerah sekitar sungai, pantai dan danau. Banyak terdapat di Banda Aceh, Bangka, Belitung dan Bengkulu.
h. Pasir besi
Merupakan batuan pasir yang banyak mengandung zat besinya. Terdapat di Pantai Cilacap, Jawa Tengah.
i. Marmer atau batu pualam
Merupakan batu kapur yang telah berubah bentuk dan rupanya. Banyak terdapat di Trenggalek, Jawa Timur, dan daerah Bayat ( Jawa Tengah )
j. Batu akik
Merupakan batuan atau mineral yang cukup keras dan berwarna. Terdapat di daerah pegunungan dan sekitar aliran sungai.
k. Bauksit
Banyak terdapat di Pulau Bintan dan Riau.
l. Timah
Daerah penghasil timah di Indonesia adalah Pulau Bangka, Belitung dan Singkep.
m. Nikel
Terdapat di sekitar Danau Matana, Danau Towuti dan di Kolaka.
n. Tembaga
Terdapat di Tirtomoyo, Wonogiri ( Jawa Tengah ), Muara Simpeng ( Sulawesi ) dan Tembagapura ( Papua ).
o. Emas dan perak
Merupakan logam mulia. Terdapat di Tembagapura, Batu hijau, Tasikmalaya, Simau, Logos, Meulaboh.
p. Belerang
Terdapat di kawasan Gunung Telaga Bodas ( Garut ) dan di kawah gunung berapi, seperti di Dieng ( Jawa Tengah ).
q. Mangan
Terdapat di Kliripan ( Yogyakarta ), Pulau Doi ( Halmahera ) dan Karang nunggal.
r. Fosfat
Terdapat di Cirebon, Gunung Ijen, dan Banyumas.
s. Besi
Besi baja adalah besi yang kandungannya atau campuran karbonnya rendah.
t. Mika
Terdapat di Pulau Peleng, Kepulauan Banggay di Maluku.
u. Tras
Terdapat di Pegunungan Muria ( Jawa Tengah ).
v. Intan
Terdapat di Martapura ( Kalimantan Selatan ).
3. Pemanfaatan SDA Barang Tambang
Usaha pemanfaatan pertambangan dan bahan galian dalam pembangunan Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Sebagai pemenuh kebutuhan SDA barang tambang dan galian dalam negeri.
b. Menambah pendapatan negara karena barang tambang dapat diekspor keluar negeri
c. Memperluas lapangan kerja
d. Memajukan bidang transportasi dan komunikasi
e. Memajukan industri dalam negeri
Adapun upaya dalam pembangunan berkelanjutan sebagai berikut:
a. menyatukan presepsi tentang pelestarian atau konservasi biosfer
b. menggunakan SDA secara efisien dan tidak membahayakan biosfer
c. melanjutkan dan mengamankan penggunaan SDA
d. mengembangkan dan menerapkan teknologi maju untuk mendukung pengelolaan dan pengembangan lingkungan
e. mendukung program ekonomi baru yang memiliki strategi berkelanjutan dalam pengelolaan dan pengembangan lingkungan
Dampak Pertambangan terhadap Lingkungan Hidup
Dampak langsung kegiatan pertambangan, khususnya pertambangan emas dan tembaga diantaranya kerusakan ekologis seperti berkurangnya debit air sungai dan tanah, pencemaran air laut, kerusakan hutan hingga sedimentasi tanah masih menjadi masalah yang belum terpecahkan secara tuntas.
Intensitas dampak eksplorasi pertambangan emas dan tembaga tidak hanya merubah derajat kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang merugikan generasi masa kini tetapi juga kerugian bagi generasi yang akan datang. kawasan eksplorasi pertambangan selalu menjadi kantong kemiskinan massif, kemiskinan aktif dan kemiskinan pasif.
Jika kemiskinan aktif terjadi karena seseorang kehilangan sumberdaya untuk memberdayakan diri dan mempertahankan hidupnya, maka kemiskinan pasif terjadi karena hilangnya akses untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada di sekelilingnya. Meluasnya bentuk-bentuk kemiskinan aktif dan pasif inilah penyebab utama munculnya kemiskinan massif yang ditandai oleh kelaparan ditengah kemewahan, putus sekolah massal ditengah pemborosan anggaran pendidikan, keringkihan massal ditengah gaya hidup royal dan boros kaum pemodal.
Sedihnya, fakta demikian terjadi pada hampir seluruh kawasan dimana kaum pemodal sektor pertambangan melakukan eksplorasi emas, tembaga dan berbagai jenis batu mulia, mineral, logam, timah, nikel, dan lainnya.
Solusi kedepan
Dengan mengajak perusahaan pertambangan memperluas kepeduliannya secara signifikan terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat melalui skema berbagi skill, pengetahuan, dan modal. Bentuk paling minimal adalah melalui skema trust fund atau mining trust fund yang dikembangkan dalam sebuah skema Corporate Social Responsibility. Model ini lebih akomodatif dan kompromis dengan mempertimbangkan aspek benefit kegiatan perusahaan.
Perhatian pengamat pertambangan dan lingkungan umumnya lebih kritis terhadap perusahaan berskala besar seperti Freeport Mc Moran di Papua, Newmont Nusa Tenggara di Sumbawa, Exxon Mobil untuk Migas dan beberapa perusahaan tambang batubara di Kalimantan timur, Sumatera dan pulau-pulau kecil seperti pulau Natuna.
Saat ini dampak kegiatan pertambangan emas dan tembaga memang diakui telah memberikan keuntungan ekonomi sebagai salah satu sumber pembiayaan pembangunan yang penting diera orde baru namun tak dapat dipungkiri pula bahwa side effect lain terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup (ecocide) dan hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumberdaya mereka yakni tanah dan air.
Salah satu solusi yang dapat ditempuh adalah membuat regulasi yang lebih memihak kepada ekonomi masyarakat lokal dan konservasi lingkungan (UU PSDA sebagai UU payung), penegakan hukum lingkungan, transparansi dan audit lingkungan terhadap perusahaan tambang skala besar.
MORATORIUM PERTAMBANGAN:
Langkah Strategis Menyelamatkan Sumber Daya Mineral Indonesia
Kepulauan Indonesia dengan keanekaragaman hayatinya, berada dalam ancaman bahaya ekologi sangat serius. Setelah puluhan tahun mengalami eksploitasi massif oleh negara dan modal, masih saja dibanjiri oleh langkah-langkah blunder untuk memacu investasi di sektor pertambangan. Kita tak memiliki strategi jitu untuk menyelamatkan kepentingan pelestarian lingkungan hidup, kepentingan penduduk local, dan "pembiaran" mineral untuk generasi mendatang. Pemerintah malahan terus menerus memberi izin pada perusahaan pertambangan untuk mengekstrasi sumber daya mineral Indonesia.
Padahal, dihitung-hitung, kontribusi industri pertambangan untuk negara sangat rendah, berkisar antara 1-3 persen dari total pendapatan negara (seperti dikemukakan anggota DPR RI, Pramono Anung Wibowo, dan kertas kerja Econit Advisory Group). Anehnya, industri keruk yang begitu destruktif masih menjadi primadona bagi negara. Bahkan negara tak segan mengeluarkan regulasi yang sangat menguntungkan pemodal di sektor pertambangan.
Secara sistematis pemerintah berupaya mempertahankan eksistensi pertambangan di Indonesia. Bahkan dengan berani menggadaikan nasib generasi mendatang; kahancuran lingkungan hidup; penderitaan masyarakat adat; menurunya kualitas hidup penduduk lokal; meningkatnya kekerasan terhadap perempuan; dan kehancuran ekologi pulau-pulau.
Beberapa kasus tertentu menunjukan , pemerintah tak segan menggunakan aparat pertahanan dan keamanan untuk merepresi rakyat yang melawan kehadiran pertambangan di tanah mereka. Dari situ pelanggaran HAM pun terjadi. Tidak heran jika industri pertambangan di Indonesia tergolong industri yang sarat dengan pelbagai peristiwa pelanggaran HAM.
Akar persoalan buruknya politik pertambangan kita, baik di tingkat perangkat hukum maupun praktek riil pertambangannya. Oleh karena itu diperlukan suatu perubahan mendasar dan paradigmatik terhadap kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia. Jalan menuju perubahan yang fundamental itu adalah Moratorium Kegiatan Pertambangan.
Mengapa Moratorium?
Semangat eksploitasi (jual murah dan jual habis) adalah warna kental kebijakan pertambangan di Indonesia. Pembiaran mineral di perut bumi untuk generasi mendatang dan kelestarian lingkungan hidup seolah menjadi agenda yang tabu dan dosa bagi pengurus negara.
Kesalahan utama kebijakan dan orientasi pertambangan di Indonesia bermula dari UU No 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing ---yang diikuti penandatanganan kontrak karya (KK) generasi I antara pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran . Disusul dengan UU No 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Sejak saat itu, Indonesia memilih politik hukum pertambangan yang berorientasi pada kekuatan modal besar dan eksploitatif. Dampak susulannya adalah keluarnya berbagai regulasi pemerintah yang berpihak pada kepentingan modal. Dari kebijaakan-kebijakannya sendiri, akhirnya pemerintah terjebak dalam posisi lebih rendah dibanding posisi modal yang disayanginya. Akibatnya, pemerintah tidak bisa bertindak tegas terhadap perusahaan pertambangan yang seharusnya patut untuk ditindak.
Desakan untuk mengubah UU pertambangan bermunculan dalam kurun 3 tahun terakhir. Namun gara-gara rentang waktu orientasi pertambangan yang keliru itu telah berlangsung terlalu lama. Hingga tidak heran jika banyak kalangan yang terhegemoni, termasuk pihak pembuat kebijakan. Akibatnya, upaya perbaikan ketentuan-ketentuan hukum pertambangan saat ini pun masih diwarnai pendekatan lama yang eksploitatif dan jual habis, termasuk draft RUU pertambangan yang baru .
Untuk memutus mata rantai perbaikan kebijakan pertambangan yang tambal sulam itu, diperlukan suatu terobosan baru yang berani, yaitu moratorium. Dengan moratorium kegiatan pertambangan, pemerintah akan lebih mampu menata pijakan dasar kebijakan dan orientasi pertambangan Indonesia masa depan, yang pro terhadap kepentingan lingkungan hidup, penduduk lokal, bangsa, dan kepentingan generasi masa depan. Dengan demikian, pemerintah akan berhasil melahirkan suatu strategi baru pertambangan yang bijak berdasarkan pertimbangan yang rasional termasuk kepentingan penduduk lokal, kualitas lingkungan hidup, penghitungan tingkat keterancaman ekologi pulau-pulau, jenis dan jumlah kebutuhan riil bahan tambang oleh bangsa dan pembiaran atau pencadangan mineral untuk kepentingaan generasi mendatang.
Bagaimana Memulai Moratorium?
Moratorium pertambangan bisa berjalan jika ada political will pemerintah. Selain itu, pressure yang kuat dari rakyat dan wakil-wakilnya di parlemen pada pemerintah akan mempercepat terealisasinya gagasan moratorium pertambangan. Demi penyelamatan sumberdaya mineral, keberlanjutan eksistensi bangsa dan jaminan kepastian dalam investasi bagi modal, pemerintah harus berani mengambil langkah-langkah untuk moratorium pertambangan.
Walaupun saat ini moratorium adalah isu yang tidak populer dimata modal. Ada 5 langkah yang perlu di tempuh untuk mengkonkritkan gagasan moratorium pertambangan. Keempat langkah tersebut adalah sebagai berikut:
1. Stop Perizinan Baru
Sejak tahun 1967 hingga saat ini, pemerintah yang diwakili oleh Departemen Pertambangan dan Energi, (kini Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral) seolah merasa bangga jika berhasil mengeluarkan izin pertambangan sebanyak mungkin. Tidak heran jika sampai dengan tahun 1999 pemerintah telah "berhasil" memberikan izin sebanyak 908 izin pertambangan yang terdiri dari kontrak karya (KK), Kontrak karya Batu Bara (KKB) dan Kuasa Pertambangan (KP), dengan total luas konsesi 84.152.875,92 Ha atau hampir separuh dari luas total daratan Indonesia . Jumalh tersebut belum termasuk perijinan untuk kategori bahan galian C yang perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah daerah berupa SIPD.
Walaupun baru sebagian kecil dari perusahaan yang memiliki izin itu melakukan kegiatan eksploitasi, namun dampaknya sudah terasa menguatirkan. Oleh karena itu diperlukan ketegasan pemerintah untuk tidak lagi mengeluarkan izin pertambangan sampai ada suatu perubahan yang mendasar terhadap politik hukum pertambangan.
2. Evaluasi Perizinan Yang Telah Diberikan
Langkah kedua yang sebaiknya ditempuh pemerintah adalah mengevaluasi perizinan yang telah diberikan. Bagi pemilik izin yang tidak melakukan aktifitas penambangan, berdasarkan berbagai ketentuaan yang berlaku, pemerintah berhak untuk mencabut perizinannya. Upaya evaluasi terhadap perizinan yang telah diberikan sebaiknya dilakukan secara sistematis untuk seluruh jenis perizinan yang ada. Bila langkah ini dilakukan tidak mustahil pemerintah akan menemukan banyak pemegang izin yang tidak melakukan aktifitas penambangan, sehingga izin mereka patut untuk dibekukan.
3. Tinggikan Standar Kualitas Pengelolaan Lingkungan Hidup
Adalah kenyataan bahwa untuk merangsang invertor pertambangan ke Indonesia, pemerintahaan lama menjadikan isu lingkungan hidup sebagai isu pelengkap semata. Sejauh ini, tak terlihat komitmen pemerintah untuk menindak tegas mereka yang melakukan perusakan lingkungan hidup. Rendahnya komitmen untuk pelestarian lingkungan hidup juga terlihat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah. Tumpang tindih antar satu peraturan dengan peraturan yang lain, atau kecilnya kewajiban pengelolaan lingkungan hidup yang baik oleh pelaku bisnis bagitu mudah terlihat.
4. Pelembagaan Konflik
Sengketa antara penduduk lokal dengan perusahaan pertambangan yang saat ini beroperasi terbilang cukup tinggi. Hal itu disebabkan kebijakan pertambangan tidak berpihak pada kepentingan penduduk lokal.
Untuk menyelesaikan sengketa rakyat dengan perusahaan pertambangan, diperlukan suatu upaya pelembagaan konflik agar tercapai solusi yang memuaskan berbagai pihak. Pelembagaan konflik ini seharusnya diprakarsai negara dan perusahaan tambang melalui mekanisme resolusi konflik. Resolusi konflik hanya bisa tercapai jika melibatkan semua stake holder yang berada pada posisi yang sederajat. Resolusi konflik pertambangan sebaiknya dijadikan kebijakan pemerintah, dengan melibatkan fasilitator profesional agar terhindar dari dominasi pihak-pihak yang bersengketa. Kesepakatan-kesepakatan yang dibangun dalam mekanisme resolusi konflik sebaiknya dijadikan bagian dari re-negosiasi kontrak, sehingga secara hukum mengikat pihak perusahaan.
5. Kebijakan Strategi Pemanfaatan Sumberdaya Mineral
Untuk menyelamatkan sumberdaya mineral dan eksistensi bangsa dimasa mendatang, diperlukan kebijakan yang secara tekstual mengatur pemanfaatan mineral atas dasar kebutuhaan rill bangsa saat ini dan generasi mendatang. Kebijakan seperti itu yang kemudian dijadikan rujukan perbaikan peraturan perundang-undangan pertambangan. Oleh karena itu, strategi pemanfaatan sumberdaya mineral sebaiknya tertuang dalam Ketetapan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sehingga secara hierarkis berada pada posisi yang lebih tinggi dari UU.
Agar menjadi pedoman dalam menyusun peraturan perundang-undangan pertambangan yang baru, sebaiknya TAP MPR menyatakan dengan jelas pentingnya dilakukan pengkajian secara cermat tentang seberapa parahnya tingkat kerusakan lingkungan hidup dan keterancaman ekologi berbasis pulau. Penghitungan itu disertai pertimbangan riil aktifitas industri keruk yang telah ada, seperti Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI) Perkebunan besar monokultur, dan pertambangan. Selain itu perlu dihitung dengan cermat laju kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh indutri keruk.
Juga diperlukan penghitungan tentang jenis mineral yang riil dibutuhkan bangsa saat ini, berapa besar jumlah kebutuhannya, serta berapa dugaan potensi mineral tersedia, kemudian dibandingkan dengan prediksi kebutuhan generasi mendatang. Kalkulasi-kalkulasi itu menjadi penting untuk diikuti oleh pemerintah dalam membuat strategi pemanfaatan sumberdaya mineral yang berorientasi jangka panjang. Stategi yang telah dibuat itu, dijadikan pijakan utama pembuatan protokol-protokol operasi pertambangan pasca moratorium.